Unit Kegiatan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Blogroll

  • Catatan Proses Kreatif SICK-LUS

    Memilih berkiprah di ranah teater harus benar-benar timbul dari hati yang jujur, ikhlas untuk terus berproses. Untuk terus dan terus menghidupkan bumi kita. Panggung kita. Pada garapan Sick-Lus ini, 85% dari para pemain merupakan benih-benih baru, mereka adalah anggota Teater Awal ke-27 yang bulan November 2014 kemarin dilantik menjadi anggota Teater Awal.
    Mereka seperti keajaiban yang hadir pada kegersangan tanah kami, rumah kami, mereka datang dengan memberi semangat dan berjuta-juta harapan.

  • Mau Dikemanakan Proses Kami?

    "Hasil tidak akan jauh berbeda dari proses, dan proses pun tidak akan mendustakan hasil". Itulah kalimat yang sering ditanamkan kepada insan-insan seni teater, begitu juga Teater Awal Bandung, salah satu unit kegiatan mahasiswa Universitas Islam Negeri Bandung. Tidak ada proses yang di lakukan dengan main-main, meski berteater sejatinya ialah bermain, tapi dalam tahapan yang lebih serius. Karena proses itu sendiri yang bisa menunjukan eksistensi kami, Teater Awal Bandung dengan karya-karya kami.

  • Teater Awal Bandung- Semangat Berkarya Tak Lekang oleh Fasilitas

    UIN Sunan Gunung Djati Bandung atau biasa di kenal sebagai UIN Bandung, saat ini sedang mengalami perbaikan pembangunan. Proses yang memakan waktu tersebut mengakibatkan banyaknya bangunan yang diruntuhkan dengan alasan akan dibangun yang lebih baru dan lebih megah. Tapi, semua hal didunia ini tak luput dari proses dan dalam proses menuju kesana tentu juga tidak luput dari pengorbanan. Salah satu bentuk pengorbanan adalah kurangnya bangunan yang seharusnya menjadi tempat beberapa kegiatan mehasiswa. Sehingga itu bisa menghambat kinerja mahasiswa.

Sabtu, 21 April 2012

       Ekspresi Jiwa Merupakan Luapan setiap Insan Seni Teater. Hal itu tidak terlepas dari keberadaan Teater Kampus atau Teater Non-kampus (indipenden). Lalu kemanakah kini keberadaan teater kampus yang pernah membuming beberapa tahun kebelakang di Bandung . Hal tersebut dibedah paska pementasan “Kisah Cinta dll” di galeri Teater Awal UIN SGD Bandung, disamping evaluasi dari pementasan. Hadir juga disana kang Yosep dari “Teater Laskar Panggung” dan beberapa orang dari “Teater Tema” serta berbagai insan yang memang peduli terhadap perkembangan teater di tanah air.

          Permasalahanya memang sangat komplek. Mulai dari sulitnya mencari sponsor untuk sebuah garapan sampai masih adanya anggapan kurang keprofesionalan teater kampus itu sendiri. Padahal lepas dari itu semua, seharunya tidak ada dikotomi dan pengkotakan tentang keberadaan teater kampus atau non-kampus. Karena pada dasarnya semua komunitas teater sama yakni untuk berproses. Hanya saja permasalahnya mungkin terletak pada pandangan teater kampus masih selalu dibenturkan dengan kegiatan kuliah dan jadwal latihan. Berbeda dengan komunitas teater non-kampus (independen) yang dinilai lebih terfokus untuk waktu sebuah garapan.

         Keberadaan teater kampus bagaikan tidak tersorot perhatian. Kemunculannya kadang dikucilkan, hal itu pula yang sulit untuk dihilangkan dari pandangan sebagian masyarakat kita. Maka kadang tidak heran jika hal ini membuat sulit komunitas tearter kampus di Indonesia untuk muncul. Kondisi seperti ini disadari oleh Teater Awal, namun tidak menjadikan mereka patah arah. Proses adalah bagian yang tetap harus dijalani meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Kini pamor teater kampus diambang kepunahan, begitu kiranya yang di ungkapkan Yosep Laskar Panggung.

        Menyikapi hal tersebut, maka perlu adanya suatu pemulihan terhadap kondisi seperti ini. Jangan sampai teater kampus dianggap jago kandang, yang hanya bisa main di rumahnya sendiri. Bahkan jangan sampai pamornya menjadi mundur. Jika Teater Awal seperti diatas tadi saja mampu untuk terus berproses di tengah kuatnya himpitan dunia globalisasi, mengapa bagi komunitas teater lain tidak menjadi sebuah motifasi untuk tetap eksis dan berproses.

Persaingan Panggung Teater

        Mungkin disadari atau tidak, persaingan di dunia teater itupun terjadi. Dunia panggung kadang dijadikan eksploitasi untuk sekedar mencari keuntungan belaka bagi sebagian pihak tertentu. Misalnya bagi sponsor yang bersedia untuk memblow-up seluruh kebutuhan produksi pementasan. Namun hal ini tentunya harus menjadi sebuah timbal balik bagi pihak tersebut. Otomatis bagi komunitas teater seperti ini tidak akan mengalami kesulitan biaya produksi dan pementasan pun bisa berjalan dengan lancar. Namun bagai mana dengan nasib komunitas teater kampus yang tidak bisa mendapatkan sponsor untuk pementasannya.

         Kesulitan seperti mendapatkan sponsor untuk sebuah pementasan bagi teater kampus merupakan salah satu yang menjadi sebab sulitnya untuk muncul kepermukaan. Hal ini tentunya akan mematikan semangat berproses secara perlahan-lahan. Bagi sebagian komunitas hal ini tentunya akan diminimalisir dengan merogok dari saku pribadi. Namun perlahan-lahan solusi seperti inipun akan mengalami kemandetan.

           Tetapi kesulitan untuk memperoleh penyelesaian biaya produksi sebuah pementasan jangan dijadikan sebagai alasan untuk matinya sebuah kreatifitas. Meskipun mengalami kemandetan diwilayah ini tetapi kreatifitas harus tetap berjalan. Jika kemunduran sebuah pementasan karena tidak mendapatkan solusi untuk sebuah produksi pementasan, maka hal inipun sangat naïf juga. Sebagai jawaban, pementasan Tetaer Awal pun masih selalu merogok koceknya sendiri untuk sebuah pementas, bahkan untuk pementasan keliling.
06.04   Posted by Jamaluddin Husein in with No comments
Read More

Rabu, 18 April 2012

Barbara - Dog

lagu ini mengisahkan tentang kisah cinta yang dikemas dalam musik kontemporer.

di setiap garapan naskah utuh, kami mencoba membuat satu buah lagu soundtrack yang sesuai dengan naskah. kemudian pada prosesnya, kami menyajikannya dalam konsep musik kontemporer. dan lagu inilah yang menjadi soundtrack dari naskah "kisah cinta dan lain-lain" karya
arifin c noer.

-selamat menikmati-

-----------

this song tells about love story which form in contemporary music.

in every play process, we try to make a play's soundtrack that based on play. thus, in progress, we perform it in contemporary music concept. and this is our soundtrack from "kisah cinta dan lain-lain" by arifin c noer.

-enjoy-


FB : Group Musik Barbara,
10.38   Posted by Jamaluddin Husein in
Read More

Oleh. Pungkit Wijaya*

Teu sudi teuing kudu sarua jeung baju si Suminta!
(Karyana)

          Dua orang lelaki berhadapan, saling menikam dalam pandangan matanya. Dadanya dibusungkan. Kerut muka kedua lelaki itu seperti membawa dendam yang tersimpan. Tubuh, muka, dan matanya seperti membawa bahan-bahan empiris ke dalam dunia imajiner (panggung) . Karyana ( Acep Bolo), Suminta (Eki Abeng) langsung membuka adegan dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan permusuhan, lalu mereka mengisi panggung kiri dan kanan. Saling berkata dan mencaci, memecah ruangan. Mengumbar sumpah serapah, terlihat sekali kebencian ditabur. Seluruh penonton tercenung.
Kata-kata serapah dilontarkan tokoh Karyana (Bolo) dalam pembuka dialog pertunjukan Satru. Kata-kata serapah itu menjadi titik tolak, bagaimana kebencian menjadi penting dalam permusuhan dengan seteru, apalagi dalam realitas politik. Karyana (Bolo) sebagai seteru Suminta (Eki), maka tak pelaknya mereka berdua saling membalas serapah itu. Dengan saling melontarkan kata-kata kebencian atau sinisme menjadi penting dalam membangun konflik suatu cerita, dua tokoh itu yang berebut kekuasaan Kuwu (Desa) dalam naskah drama Satru karya Nazarudian Azhar.
            Kendati demikian, Satru menjadi salah satu pilihan naskah dari Festival Drama Basa Sunda (FDBS-12) Teater Sunda Kiwari, FDBS 12 itu pun telah berlangsung pada tanggal 12 Maret-5 April di GK Rumentang Siang. Naskah tersebut pula yang dipinang Teater Awal UIN Bandung untuk dipentaskan. Tersebutlah pada tanggal 13 Maret Teater Awal mementaskannya, sebagai salah satu teater kampus yang sudah melanglang buana di jagat pementasan itu, Teater Awal mementaskannya kembali di Audotorium UIN SGD Bandung tanggal 27-28 Maret, di Sutradarai Dani Jauharudin dan segenap awak Teater Awal.
            Panggung tidak seperti pementasan di galeri atau panggung teater. Konsep natural dipilih para punggawa artistik dari Teater Awal. Panggung menjadi sederhana. Pemain, penonton berada dalam satu jajar, tidak ada stage yang dikhususkan. Hanya podium dibelakang tempat para pemusik. Kain-kain hitam melengkup aula, dan permainan lampu menyorot kedua tokoh tersebut kata-kata meluncur dari kedua mulut Karyana (Bolo) dan Suminta (Eki) sebagai pembelahan peristiwa dalam beberapa adegan (satu panggung).
Misalnya, salah satu istri Karyana (Bolo) yakni  Darsih ( Yanti ‘Ateu’) yang terus menjadi tokoh pelengkap dalam percakapan. Seperti membayangkan dua peristiwa, dari rumah berbeda, realitas keluarga saheng,. Ditambah beberapa tokoh yang keluar masuk panggung seperti halnya Sodik (Dado), Kodar (Martin) sebagai tim sukses, Kodar (Martin) menjadi juru kampanye dan pemimpin Laskar Suminta, sementara Sodik (Dado) menjadi juru kampanye Karyana.
Para penonton menikmati pementasan tersebut. Dengan suguhan aktor yang memikat. Bahasa realise dan suspense menjadi ciri dari dialog para aktor dan seluruh adegan dalam Satru. Sementara suara-suara satire sesekali membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Suara-suara sindir itu mengajak penonton untuk memungut rentetan alur cerita, desa (keluarga) seteru dengan beberapa peristiwa yang dirangkum dalam satu panggung. 

Luka Kultral dan Realitas Politik

Di tambah dengan realitas keluarga saheng. Dialog-dialognya bernas. Sementara ada ingatan yang melandasi seteru itu. Luka kultural terus tertanam dalam dua keluarga yang sempat menjadi lawan politik, Luka kultural itu sungguh sulit disembuhkan. Karyana adalah keturunan mantan Kuwu Sahri dan Suminta anak dari calon Kuwu Darta. Akhirnya luka itu terus menganga, dan saling membenci. Percepacahan dan mosi tidak percaya antara satu sama lain (calon kuwu dan mantan kuwu). Tentu saja, yang menjadi generasi penerus Karyana dan Suminta digambarkan berbeda partai. Sebagai kedua calon kuwu, mereka merasa dirinya paling baik dan akan memajukan desa. Dengan lonataran visi dan misi.
Begitu pula terkena implikasinya yakni Rahmat (Rizal) dan Dini (Irma), dua tokoh anak muda yang sedang menjalin asmara. Bila dikata sedang pageugeut-geugeutna. Rahmat (Rizal), anak lelaki dari Raden Suminta dan Dini (Irma) dari Drs Karyana. Di tengah cerita tokoh Rahmat (Rizal) dan Dini (Irma) yang dibesarkan oleh keluarga itu saling mengenal dan akhirnya bertaut kasih.

Rahmat: Iraha rek alakurna nya?
Dini     : Nya engek we mun urang nikah, kang…
Rahmat: Lila keneh atuh, pan iteungna ge kuliah keneh dua taun deui…
Dini     : Katambah deui ayeuna rek pemilu kuwu. Beuki angot. Itu ieu nganggap satru. Lieur Iteung mah…
Rahmat : Sarua, akang ge lieur, Nyi…

Seperti dalam dialognya, Rahmat (Rizal) dan Dini (Irma) menjadi penentu atau antiklimaks dalam cerita. Sementara, dalam kampanye tersebut dangdut menjadi pilihan, pada semesta saheng. Tokoh Imas Vibrator, sebagai penyanyi dangdut, membuat heboh, kedua belah pihak yang akan mencalonkan kuwu, tokoh imajinatif Imas Vibrator pun dihadirkan dalam panggung.
Kesalahan bahasa dalam dialog menjadi penting. Walhasil, pemahaman Imas Vibrator menjadi kabur. Suminta (Eki) memahami Imas Vibrator itu sebagai alat Kontrasepsi dan Karyana (Bolo) sebagai penyanyi dangdut. Dan penambahan konflik, ketidaksetujuan terhadap penyanyi dangdut. Acara dangdut tersebut mengejutkan, pada akhirnya membuat seteru itu menjadi bersatu di akhir pertunjukan yang sengaja dihadirkan Rahmat (Rizal Miun) dan Dini (Irma) sebagai akal bulus mereka agar dua seteru itu berdamai.
Sebelumnya, panggung menjadi terbelah, sisi lain penonton harus melihat ke depan (panggung utama) sisi lain, realitas dangdut dihadirkan para penata pemusik yang dikomadoi (Davi Duyek) dan semua penonton melihat pementasan dangdut itu, tokoh MC (Fahmi Ayams) yang kemayu, menjadi pelengkap suara satire itu. Imas Vibrator pun tiba, bergoyang. Byuurrr! Tariiik! Sambil bergoyang diselingi dengan adegan seteru, itulah keunikan pertunjukan satru di auditorium UIN. Penonton seperti masyarakat yang sebenarnya, ikut dipaksa melihat realitas politik (seteru) dan dangdut.
Menarik jika dicermati, suara satire itu sebenarnya menggambarkan realitas sosial-politik dalam pemilihan kuwu (lurah). Realitas politik (pertujukan) yang memberi pesan dan makna terdalam, meski bahasanya sindir, kepada masyarakat (khususnya kampus) tergambar oleh beberapa awak team sukses, bahwa masyarakat dituntut cerdas, tidak hanya menginginkan politik uang (money politik) apalagi para politikus atau pejabat bagaimana sikap sebaiknya mendidik masyarakat.
Begitulah seni, gambaran atau replika meminjam Aristoteles dari semesta. Dari seni khsusnya teater (pertunjukan) bisa digambarkan dan diramalkan tentang persoalan kemanusiaan. Dengan itu dunia “kemungkinan” yang akan menyumbangkan pada perubahan sosial. Sebab jikalau kita membayangkan dunia yang masih mungkin (possible world) dan akan tergerak bagaimana membaharui dunia yang sedang terjadi (realitas). Jadi selayaknya dunia pertunjukan itu memberi gambaran, citraan, bentuk masyarakat mana yang dapat disusun yang sementara ini dianggap sebagai dunia imajiner.

*Penikmat Pertunjukan Teater, Anggota Teater Awal XXII Mahasiswa Kosentrasi Sastra di Fakultas Adab dan Humaniora UIN SDG Bandung.              
10.22   Posted by Jamaluddin Husein in
Read More

Senin, 16 April 2012

Cingciripit tulang bajing kacapit
Kacapit kubulu paré, bulu paré seuseukeutna
(Tongtolang Nangka)

Satru - Gk. Rumentang Siang

          BARANGKALI sejak mula peradaban, dosa seperti beban yang enggan enyah dalam diri manusia, dosa itu diturunkan. Menjadi beban, setiap jengkal tubuh manusia seperti telah diguratkan dosa. Nampaknya sulit untuk melupakan dosa. Apalagi dosa turunan; dari mulai nenek-kakek, embah, eyang, sampai tujuh turunan, katanya, dengan bersumpah. Sepertinya laknat jika harus berteman atau berdamai dengan seteru. Pada mulanya adalah perbedaan, kepentingan dan arogansi yang bertelur, beranak pinak dan lebih parah menjadi tradisi bagi kita, manusia. Apakah manusia dicipta dari dosa, hasil perseteruan?

          Satru karya Nazarudin Azhar (Nunaz)realitas politik, cinta, menjadi bernas, di samping dialog yang sederhana (realis) namun satire, penuh guyonan, terkait latar, realitas politik dalam lingkar sederhana (desa), meskipun dibingkai dalam tambahan alur, pemilihan kuwu dan beberapa penggalan adegan. Mungkin saja ini sebenarnya menegaskan, identitas manusia Sunda.

          Kendati demikian, Satru menjadi salah satu pilihan naskah dari Festival Drama Basa Sunda (FDBS-12) Teater Sunda Kiwari, FDBS 12 itu pun telah berlangsung pada tanggal 12 Maret-5 April di GK Rumentang Siang. Naskah tersebut pula yang dipinang Teater Awal UIN Bandung untuk dipentaskan. Tersebutlah pada tanggal 13 Maret Teater Awal mementaskannya, sebagai salah satu teater kampus yang sudah melanglang buana di jagat pementasan itu, Awal ingin kembali mempertahankan gelar yang sempat diraihnya ketika Festival dua tahun lalu. Setelah itu, sebagai juara bertahan, Teater Awal akan mementaskannya kembali di Audotorium UIN SGD Bandung, pada tanggal 27-28 Maret, di Sutradarai Dani Jauharudin dan segenap awak Teater Awal.

Politik- Satire

          Maka, setelah membaca itu, mari kita lihat apa itu Satru? Dalam kamus Sunda-Indonesia R. Satjadibrata (Kiblat: 2011) ialah musuh atau seteru; bisa nyatru; memusuhi; jagasatru nama pegawai zaman dahulu. Dari kata satru itu, menurut saya akan menjelaskan apa yang ada dalam naskah drama yang ketika dipentaskan akan menjadi teks baru, teks dari realitas yang dialihkan ke dalam panggung pementasan melalui narasi dan penggambaran tokoh, dialog, latar dan setting.

 Satru - Aula UIN Sunan Gunung Djati Bandung

          Satru karya Nunaz (Nunu Nazaruddin) tersebut, seperti bercermin pada kehidupan sosial, politik masyarakat Sunda atau bisa jadi terhadap diri kita sendiri. Siapa satru? Bisa saja dia orang terdekat dalam komunitas kita, komunitas sosial kita.

          Narasi pementasan tersebut membicarakan persoalan; politik, cinta dan desa, penggalan peristiwa yang disatukan dalam beberapa adegan. Bahasa realise- satire, penuh guyonan, terkait latar, realitas politik pemilihan Kuwu. Di antaranya tokoh Suminta dan Karyana menjadi lawan atau seteru, Karyana adalah keturunan mantan Kuwu Sahri dan Suminta anak dari Kuwu Darta, telah lama bermusuhan dan masih memperebutkan tahta kepemimpinan desa. Dalam dialog awal, pada adegan pertama tokoh Karyana:

Karyana: Drs. Karyana kudu ganti baju. Teu sudi teuing kudu sarua jeung baju si Suminta!
         Begitu pula terkena implikasinya yakni Rahmat dan Dini, dua tokoh anak muda yang sedang menjalin asmara. Bila dikata sedang pageugeut-geugeutna. Rahmat, anak lelaki dari Raden Suminta dan Dini dari Drs, Karyana, sungguh menarik, dua seteru yang berbeda yang sungguh sulit disatukan. Dalam dialog Rahmat dan Dini:


Rahmat : Iraha rek alakurna nya?
Dini : Nya engek we mun urang nikah, kang…
Rahmat: Lila keneh atuh, pan iteungna ge kuliah keneh dua taun deui…
Dini : Katambah deui ayeuna rek pemilu kuwu. Beuki angot. Itu ieu nganggap satru. Lieur Iteung mah…
Rahmat : Sarua, akang ge lieur, Nyi…

 Satru - Gk. Rumentang Siang

          Pada sisi lain tokoh Darsih istri Karyana dan Sutinah istri dari Suminta. Memperlihatkan sekali realitas keluarga saheng. Adanya tim sukses Kodar, dan Sodik. Kodar menjadi juru kampanye dan pemimpin Laskar Suminta, sementara Sodik menjadi juru kampanye Karyana.

          Ditambah pula, dalam kampanye tersebut dangdut menjadi pilihan, pada semesta saheng. Tokoh Imas Vibrator, sebagai penyanyi dangdut, membuat heboh, kedua belah pihak yang akan mencalonkan kuwu dan peristiwa acara dangdut tersebut mengejutkan yang pada akhirnya membuat seteru itu menjadi bersatu.

Identitas

           Dunia modern; cara pandang dan wawasan, menjadi titik tolak dalam naskah tersebut. Tradisi yang mulai diselaraskan dunia modern, seperti halnya pandangan tentang demokrasi. Maka dari itu, dalam Satru tersebut, suspense dan realitas imajinatif menjadi pelengkap. Dengan epilog yang sederhana, inilah indentitas kita, identitas masyarakat Sunda pasca reformasi 98, pasca kedatangan demokrasi. Saya rasa, pementasan Satru ini tidak hanya para aktor teater, sutradara, penikmat pertunjukan, tapi para politikus, para pejabat harus menonton pementasan ini. Selamat menjadi manusia Sunda!

Pungkit Wijaya - Aktifis Forum Alternatif Sastra dan Anggota Teater Awal Angkatan XXII

Sumber : http://www.suakaonline.com/2012/03/26/resensi-naskah-satru-manusia-sunda/
 
22.11   Posted by Jamaluddin Husein in
Read More

Hidup ini adalah rumah sakit di mana setiap pasien
dirongrong keinginan untuk bertukar ketiduran. Si ini
ingin menanggungkan deritanya di depan perapian,
Si itu mengira bisa sembuh di sisi jendela.

(Charles Baudelaire)

        Prancis Bacon dalam sebuah esainya mengatakan “they perfect nature, and are perfected by experience”, jika saya maknai dalam bahasa Indonesia. Pembelajaran itu tidak hanya duduk dikelas. Belajar bisa kita lakukan di mana pun. Bacon mengurai esai tersebut dalam  “of study, of truth dan of friendship” Selanjutnya, belajar di dalam kelas sangat membosankan, tuturnya. Kita mencari ilmu tidak hanya dalam kelas, tapi bisa mendapatkannya di mana pun, dan penyempurna pembelajaran itu adalah pengalaman (experience).

            Uniknya, Bacon mengatakan “…studies serve for delight, for ornament and for ability”. Dalam kata delight bisa merujuk pada kesenangan. Bisa jadi, dalam esai tersebut kesenangan lebih bersifat pribadi (self), dapat merasakan kesenangan yang ada dalam diri pribadinya, Ornament, berarti juga hiasan. Menurut Bacon di mana kita belajar (formal, informal dan nonformal) akan menjadi sebuah pengetahuan baru dengan wawasan. Selanjutnya ability, lebih kepada seseorang mendapatkan bakat atau kemampuan ketika dia belajar. Ditambah juga Bacon menulis “..some books are to be tasted” menegaskan buku menjadi tambahan di mana seseorang harus mendapatkan pengetahuan baru dalam buku, apapun itu jenis bukunya.

            Francis Bacon, sudah lama meninggalkan hirup-pikuk dunia (death). Apalagi dunia pendidikan. Seorang esais, pengacara. filsuf dan negarawan. Di lahirkan di York House, Charing Cross, London, 22 Januari 1561. Tentu saja, Bacon seorang penulis, jadi tidak mengapa saya mengenal Bacon lewat tulisannya. Membaca pemikiriannya lewat kata, frase, kalimatnya. Begitulah mungkin, jika menulis kita akan diabadikan sejarah. Tidak mati hampa.

            Alkisah, suatu hari, saya bermimpi, bagaimana jika Bacon datang dan duduk diruangan Fakultas Adab dan Humaniora dan gedung Z (tempat saya kuliah)? Oh, mungkin saya akan bergegas memberitahu teman-teman saya yakni, Rovi’ Garcia Amarulloh dan Awan William, dan bisa jadi kami akan mengajak Bacon, berdiskusi, ngopi, sampai pagi. Seperti kemarin, ketika kami kedatangan Naib, Dedi Ahimsa. Mungkin juga, akan meminta esai-esainya Bacon, seperti kami meminta esai-esai Dedi Ahimsa, yang menohok, bernas dan tuntas. Tubuh Dedi Ahimsa pergi menjauh, tapi esainya selalu ada dibenak kami, menjadi pedoman kami menulis.

            Sejenak kami mengenang Dedi Ahimsa. Memang Dedi Ahimsa bukan Francis Bacon. Tapi jika Bacon datang ke tempat kami kuliah (meminjam istilah dalam buku Bambang Q-Anees) Saya tidak akan lupa akan mengirim pesan kepada penyair Bunyamin Fasya agar datang ketempat kami diskusi. Sebab saya rasa Fasya, masih konsisten dalam dunia sastra, seperti Fasya mencintai: Leli, Tari, dan Katumbiri. Dan sekarang Fasya, selain menjadi penyair, menjadi tukang pemberi nama-nama bagi para penulis pemula. Pembabtis agar terus berkreative.

           Seperti Rovi’i, ditambah menjadi Garcia Amarulloh dan Asep Gunawan menjadi Awan William. Dengan dalih itu, akan menambah energi kreative bagi mereka. Kini, Garcia dan William, layaknya “macan” yang terus mengaung dalam hutan sastra, yang penuh cacing dan pepohonan yang menjulang tinggi. Garcia, lamat-lamat meninggalkan kajian tekhnologinya, dan tertarik pada dunia cerpen dan esai sastra. Sementara William mulai meninggalkan dunia musiknya. Dulu dia memang seorang vokalis disebuah group band terkenal di kota Kembang, tapi dia memilih untuk terjun menjadi penulis esai sastra dan penerjemah karya sastra Inggris dan dunia.

          Bahkan, kalau di beri izin dan tepat esoknya ada tanggal merah, saya akan mengajak Bacon “begadang” di Pygmalion. Bacon akan bertemu Tamiang Ganda yang sering membuat saya dan teman-teman tertawa. Sebab kalau besok tidak tanggal merah, mungkin akan sulit untuk begadang, Tamiang Ganda itu menjadi staf pengajar di salah satu sekolah di kota Kembang. Dan tidak lupa saya akan segera memberitahu juga Rak Buku Raja Gula, Fajar Paujan, para punggawa SUAKA dan Herton Maridi, jendral Sasaka agar merapat, tak lupa Atep Kurnia, Galah Denawa dan tidak lupa akan saya kasih tahu Sukron Abdilah dan Ibn Ghifari agar diberitakan. Ah, tentu saja akan lengkap, semua berdiskusi sambil tertawa senang. Huuuuuh! Byuuuuurrr! Glekglek! Dan saya akan memutar lagunya Jessie J Feat B.O.B “ah, you ready /oh cacing-cacing, babling-babling. Price Tag, every body, look!”

Bacon, Komunitas, Luka kultural

             Francis Bacon tentu saja tidak mengenal Garcia dan William. Tetapi Garcia, William, seperti keranjingan Bacon. Mungkin ini yang ditegaskan bahwa ruang komuntias bisa menjadi alternative dari pembelajaran itu. Seperti halnya di komunitas, semua perasaan bisa senang, main-main dan itulah yang disebut ornament oleh Bacon. Di mana saya rasa pengalaman dan wawasan, serta lapangan. Mendapatkan, meminjam bahasanya Syahrini “sesuatu” yang baru atau kata Octavio Paz “Suara lain” (the other voice) yang mungkin dilupakan oleh para dewa yang sedang berada di atas menara itu. Dengan dalih “seorang manusia tidak bisa melebihi dewa” manusia tetap manusia dan dewa merasa enggan bergaul dengan manusia (komunitas). Mungkin dewa itu tidak mengenal medan sastra yang sesungguhnya. Arus bahasa yang terus berkembang. Ditambah parahnya lagi buku hanya menjadi replika usang yang menusuk hidung. Apalagi seorang teman (calon sarjana padepokan sastra) hanya memiliki satu buah buku sastra.

           Selain itu pula, Garcia dan William kini sedang merenda luka cultural. Pasca keberangkatan L (meminjam bahasanya Dedi Ahimsa, L yang diasosikan, yakni Lili Awaludin).  Luka cultural itu kini semakin mengaga. Padahal pada sisi lain, Prancis Bacon menekankan pada komunitas, sedangkan komunitas sedang menjadi “kambing hitam” di dunia para dewa itu dan mereka saya rasa mirip masyarakat Macondo (Gabril Garcia Marques: Seratus Tahun Kesunyian) yang amnesia lupa akan sejarah. Tetapi, Garcia dan William itu sempat seperti halnya Estargon dan Vladimir yang sedang menunggu Godot. Oh, Godot yang agung tak kunjung datang. Maka penggambaran dan pemberian tokoh Beckket dengan menggerutu. Dari hari kehari. Dan mereka itu (Garcia, William) mulai melupakan Godot dengan salah satunya berkarya, meminjam istilah Garcia “Mari bersastra, mari berkarya” dunia sastra memang identik dengan berkarya, tanpa karya, menjadi nihilisme. Sedangkan sastra sudah banyak menanggung beban makna dan sosial, seperti halnya sastra harus diakrabkan sama tukang beca! Diperparah dengan sangat memprihatinkan dunia sastra (kok asing sama penulis karya sastra). Saya rasa ini bukan saja korupsi, tetapi itu juga bahaya akut yang harus segera dienyahkan.

           Maka, seperti kata Bacon, kita bisa belajar di mana pun, kapan pun. Kita bisa belajar sama  penjual bubur kacang. Bisa belajar meracik bumbu sama tukang nasi goreng. Dan bisa belajar meminjam istilahnya Tamiang Ganda “menanak sayur kacang!”

Pungkit Wijaya - Penikmat Sayur Kacang, mahasiswa kosentrasi sastra UIN
21.43   Posted by Jamaluddin Husein in with No comments
Read More

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search